tajuk
Sergah Palestina rangkul Israel
Bagi rezim militer di Mesir, bersahabat dengan Israel lebih menguntungkan ketimbang menolong Palestina.
02 Maret 2015 10:46Bagi bangsa Palestina, Mesir adalah saudara tua sekaligus tetangga. Tapi kenyataannya Mesir bukanlah tetangga baik. Kairo kini dibawah rezim militer sejak Presiden Muhammad Mursi - presiden sipil pertama terpilih secara demokratis - digulingkan, berlaku jahat terhadap rakyat Palestina.
Pengadilan Urusan Darurat Kairo akhir pekan lalu menyatakan Hamas sebagai organisasi teroris. Putusan ini persis sekali dengan kebijakan Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Israel telah menempatkan faksi bikinan mendiang Syekh Ahmad Yasin itu dalam daftar organisasi teroris. Langkah itu diambil sebulan setelah pengadilan sama memutuskan hal serupa terhadap Brigade Izzudin al-Qassam, sayap militer Hamas.
Mesir telah mengikuti cara berpikir Barat: kelompok tidak mau mengakui dan bertekad menghancurkan Israel adalah teroris. Padahal Hamas adalah kelompok pejuang. Mereka berhak melawan dengan senjata kapan saja buat mengusir penjajah Israel. Orang berjuang buat memperoleh kemerdekaan bukanlah teroris tapi patriot.
Sejatinya bukan hal baru Mesir berlaku semacam itu. Ketika Pemerintahan Umum Palestina berpusat di Gaza bubar pada 1952, Mesir tidak mau memberi kewarganegaraan bagi penduduk Palestina di Gaza. Mereka pun tidak diterima oleh Kerajaan Trans-Yordania menguasai Tepi Barat lantaran dianggap telah berkhianat.
Palestina sebetulnya sangat berharap bisa merdeka saat Mesir mengambil langkah kontroversial sekaligus bersejarah, yakni menjadi negara Arab pertama berdamai dan mengakui negara Israel. Ternyata lewat Perjanjian Camp David 1979, Mesir cuma mau mendapatkan kembali Semenanjung Sinai direbut Israel sehabis Perang Enam Hari, Juni 1967. Negeri Firaun ini tidak peduli dengan Palestina masih di bawah kekuasaan Israel.
Mesir sadar berjabat tangan dengan musuh bebuyutan dunia Arab itu lebih menguntungkan. Terbukti saban tahun mereka memperoleh bantuan militer cuma-cuma US$ 1,5 miliar saban tahun dari Amerika Serikat.
Karena itu, Kairo tidak segan menutup mata dan telinga saban kali mesin-mesin perang Israel menjadikan Jalur Gaza sebagai tempat latihan perang sekaligus ladang pembantaian. Tengoklah ketika perang 50 hari meletup musim panas tahun lalu. Mesir menutup rapat-rapat perlintasan Rafah bagi anak-anak, perempuan, dan kaum renta dari Jalur Gaza buat berlindung.
Akibatnya sungguh fatal. Lebih dari 2.100 orang warga Gaza tewas, kebanyakan penduduk sipil, dan sepuluh ribu lainnya cedera.
Jauh-jauh hari, Mesir senada dengan Israel, ikut memboikot Gaza lantaran Hamas berkuasa di sana. Padahal Rafah - membatasi Mesir dan Gaza - satu-satunya pintu keluar-masuk bagi warga Gaza. Ini belum seberapa, terowongan-terowongan di sepanjang perbatasan Rafah menjadi cara efektif buat melintas pun dihancurkan. Alhasil, warga Gaza masih terus menderita.
Palestina kini mesti berjuang sendiri. Negara tetangga sebagai orang terdekat tidak sepenuhnya menolong.